logo yayasan mujahidin

Sedang memuat ...

Berita

Foto SIKAP TOLERANSI DAN SALING MEMAHAMI  MERUPAKAN CIRI KETAKWAAN

SIKAP TOLERANSI DAN SALING MEMAHAMI MERUPAKAN CIRI KETAKWAAN

Intisari Khutbah Jum’at Masjid Raya Mujahidin ke 2131 _ 28 Februari 2020

SIKAP TOLERANSI DAN SALING MEMAHAMI  MERUPAKAN CIRI KETAKWAAN 

 Oleh : Dr. H.Saifuddin Herlambang (MA1 Wakil Rektor II IAIN Pontianak dan Ketua LDNU Kalbar)

Link Berkas  https://drive.google.com/open?id=1FW97u0-pEg6bQV3uQ00hXckh-4AIQaTH

Link Video Khutbah  https://www.youtube.com/watch?v=nkh4-J9SapE

 

 Saudara-saudara jama’ah jum’ah Masjid Raya Mujahidin yang berbahagia.

Naskah khutbah jum’at ini secara sederhana ingin mengemukakan bahwa teks kitab suci bersifat inklusif. Oleh karenanya semangat yang harus dibangun dalam kontek memahami teks agama adalah "kemaslahatan" untuk umat secara umum dalam menjamin keberlangsungan harmoni kehidupan umat secara kontiniu.  Saudara-saudaraku jama’ah jum’at rahimakumullah….. Khatib ingin mencoba menghubungkan antara keragaman yang merupakan sebuah keniscayaan dengan Q.S al-Hujurat (49) :13 bagaimana hubungan term "takwa" dengan term "Lita'a>rafu>" dengan menggunakan teori analisis tafsir tematik dengan pendekatan hermeneutik Agama secara dinamis diperuntukkan sebagai sarana memperbaiki diri, untuk menengok diri sendiri bukan untuk orang lain, sebagaimana Rasulullah Saw bersabda: "al-din ha huna" Dengan demikian kita mempformulasi kehidupan beragama lebih pada kepentingan mengkoreksi diri sendiri bukan untuk mengoreksi orang lain. Jika kita membaca Quran, posisikan diri kita sebagai objek yang diajak bicara secara langsung oleh Quran itu sendiri, apapun yang dibicarakan dalam ayat itu secara horizontal itu harus diarahkan ke diri pembacanya. Di situlah terjadi dialog Quran, bahwa si pembaca tatkala membaca teks kitab suci ia sedang berdialog dengan Quran tersebut. Alhasil hasil dialog ini akan secara substansi mampu memberi nasehat kepada pembacanya dan secara perlahan akan mempengaruhi moralitas pembacanya.  Rekonstruksi pemahaman tentang dialog Quran harus dilakukan agar tidak ada orang yang menjadikan Quran sebagai alat untuk menilai orang lain, atau memetakan kesholehan atau kekufuran orang lain, atau menghukum orang lain dengan kebenaran subjektif yang boleh jadi masih bisa salah. Dengan demikian, membaca Quran untuk

mengomentari diri sendiri bukan mengomentari orang lain. Perbedaan dalam memahami teks kitab suci dianggap sesuatu yang lumrah dan alami. Hasil pembacaan terhadap teks kitab suci akan pasti menimbulkan perbedaan, perbedaan semacam ini adalah suatu keniscayaan, suatu yang tak terelakkan. Kenapa demikian? Karena Tuhan sendiri yang menginginkan perbedaan tersebut. Lihat QS. Al-Maidah : 48. Justru di tengah perbedaan itulah setiap individu harus saling berkompetisi untuk menjadi lebih baik. Keragaman dalam ras, suku, mazhab, pandangan politik bahkan keragaman agama adalah kehendak Tuhan yang tak terelakkan. Kita coba analisa satu ayat Allah Swt yang tertera dalam  Firman Allah Swt dalam QS. al-H{ujura>t (49): 13;

"Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal".

 Ayat di atas adalah bagian dari etika berinteraksi sesama manusia yag disampaikan Quran. Ibn ‘Ar menyatakan bahwa manusia diciptakan berbangsabangsa dan bersuku-suku pada hakikatnya sama-sama keturunan dari ‘Adam dan Hawa (Abawa> al-Bashar).2 Pada hakikatnya, seluruh manusia adalah bersaudara, apalagi jika dilihat dari geneologi biologis, maka untuk itu kita harus saling mengenal dengan membangun hubungan baik antara sesama manusia. 

Ibn ‘Ar sendiri menegaskan bahwa tidak digunakannya  namun menggunakan kata al-Na>s bertujuan bahwa ayat ini ingin menyatakan umat manusia sebenarnya berasal dari penciptaan yang sama. Kelebihan dan kebanggaan di antara umat manusia muncul dengan kelebihan masing-masing. Dalam paradigma Islam, kelebihan itu diukur dengan ketakwaan.3 Kelebihan yang diukur dengan indikator takwa dalam Islam masih menimbulkan beberapa pertanyaan dan perdebatan. Pertama, apakah kata takwa dalam Islam menunjukkan bahwa meskipun manusia ini berasal dari Adam dan Hawa, namun jika tidak bertakwa menurut ajaran Islam menjadi lebih rendah? Kedua, apakah ketakwaan ini hanya berlaku untuk masyarakat Muslim saja, atau juga berlaku dalam pengertian yang berbeda sesuai standar agama lain? Ketiga, adakah kemungkinan perspektif ketakwaan yang dimaksud oleh Quran meliputi ketakwaan sosial, seperti ketakwaan yang lebih bertitik tolak dari sifat, kepribadian, kualitas diri seseorang dan bukan identitas yang bersifat sektarian?  Ibn ‘Ar hanya menegaskan bahwa manusia yang diciptakan berbangsabangsa dan bersuku-suku ini kebaikannya dapat diukur dari ketakwaan yang dimilikinya. Hal ini tentu melarang umat manusia menunjukkan kehebatannya di hadapan yang lain hingga menimbulkan perselisihan. Karenanya Allah menggariskan indikator siapa yang paling baik di antara manusia tersebut dengan ketakwaan.  Muhammad al-T}a>hir al-Misa>wi, seorang peneliti yang mengkaji pemikiran Ibn ‘Ar, menemukan bahwa Ibn ‘Ar adalah sosok yang tetap memberikan prasyarat tertentu untuk mewujudkan kesetaraan, dan tetap memperhatikan adakah indikator –indikator yang membatalkan kesetaraan itu. Dengan demikian, jika gagasan kesetaraan (al-'Ada>lah) itu tidak dibatasi –seperti jika diterapkan dalam konteks syariat– maka hanya akan menjadi kesetaraan yang menyesatkan.4 Sebagai perbandingan, al-T{abari> juga menggaris bawahi bahwa yang paling bertakwa di antara manusia adalah mereka yang paling menjaga diri untuk melaksanakan segala kewajiban yang diperintahkan oleh Allah, sehingga tipe orang seperti inilah yang dikategorikan sebagai orang yang paling mulia. Diciptakannya manusia dengan beragam-ragam suku bangsa ___ al-Shu’u>b wa alQaba>il) sebenarnya untuk menjadi sarana saling berusaha agar menjadi manusia yang paling taat kepada Allah dan siap menjauhi larangan-Nya. Islam tidak

mempermasalahkan bagaimana nasab (jalur keturunan) hingga harta benda seseorang, tapi yang terpenting adalah sejauh mana seorang hamba mampu bertakwa kepada Allah.5 Penafsiran ini serupa dengan pernyataan Nabi Muh}ammad SAW dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukha>ri, dikutip oleh Ibn Kathi>r ketika menafsirkan ayat ini. Saat Rasulullah SAW ditanya oleh sekelompok sahabat tentang siapakah yang paling baik di antara mereka? Beliau  bersabda: ___

 Fakhiya>rukum fi al-ja>hili>yyah, khiya>rukum fi al-Isla>m idha> faqihu> ">>>... (orang-orang yang terbaik di antara kalian pada masa Jahiliyyah, juga (sama saja) dengan kriteria orang-orang yang terbaik ketika mereka memeluk Islam, jika mereka memahami agama Islam)".6 Nabi SAW menggunakan kata Fa-Qi-Hu, yang artinya jika mereka saling memahami. Para ulama umumnya menggunakan ketakwaan sebagai indikator utama dalam menilai mulia-tidaknya seseorang. Melalui hadis di atas, ada pesan yang didapat bahwa kemuliaan tidak pernah berpindah. Kemuliaan tetap dimiliki oleh mereka yang terpilih di masanya. Ketika muncul agama Islam, maka mereka yang dianggap baik (terpilih) di masa jahiliyah juga sama dengan mereka baik menurut Islam di masa sekarang, kemuliaan seseorang yang memeluk Islam jika ia bisa memahai orang lain, bukan sebaliknya, justru ia yang minta dipahami.  Kata  "memahami" (faqihu) menjadi kabur saat dipahami sebagai orang yang paling memehami agama. Jika demikian, maka siapa yang layak untuk menklaim bahwa dirinya adalah yang paling paham akan agama? Siapa yang berhak untuk menyatakan bahwa ia adalah orang yang paling dekat dengan Tuhan? Sementara kita menyaksikan bahwa dinamika pemahaman terhadap sumber atau teks agama tetap terus bermunculan. Term "Takwa" memang suatu yang diisyaratkan Allah Swt, namun siapa yang dimaksud takwa di situ akan menjadi objek relatif tafsir. Konsepsi takwa yang bisa saja menjadi kabur karena ditarik ke ranah kepentingan, baik kepentingan politik maupun ekonomi. Kepentingan yang lahir dari kebutuhan real manusia menempa                                                          

kitab suci agama menjadi kitab politik. Hasilnya akan mewarnai tafsir dan pemahaman beragama dengan warna identitas si pemangku kepentingan, kesemuanya belum tentu murni kepentingan Tuhan.  Ketakwaan yang diukur lewat perspektif sektarianisme bisa saja menyulut perdebatan di kalangan masyarakat baik intra maupun antar agama, karena pandangan sektarianisme tidak mungkin akan melahirkan kesepakatan tentang indikator takwa itu sendiri dan akibatnya akan muncul klaim berdasarkan perspektif sendiri. Masingmasing agama, golongan membuat indikator takwa dalam perspektifnya masingmasing dan itu dijadikan alat untuk melihat outsider. Akibatnya keragaman yang seyogianya tidak menjadi penyebab permusuhan tapi lambat laiun akan memicu persaingan yang tidak sehat.   Dalam konteks sosial, kontestasi "identitas paling benar" bisa jadi telah merubah konstruksi sosial. Keragaman telah menjadi sifat khas dari masing-masing komponen masyarakat akhirnya berupaya membuat kesan bahwa mereka lebih hebat dari yang lain.7 Maka harus ditafsir ulang dan dicari alternatif lain tentang penjelasan siapa yang disebut "takwa" dalam ayat di atas. Penulis melihat redaksi teks ayat sebelumnya, yakni bahwa yang paling takwa di antara manusia adalah mereka yang paling bisa memahami (Li-Ta'arafu) atau (Li-Tafahamu). Dinamika pemahaman teks kitab suci harus disikapi secara inklusif (terbuka) dan saling menghargai. Bagaimanapun agama yang bersumber dari kitab suci akan terus bersifat universal sepanjang tafsir yang menjadi metodologi dalam memahaminya  diposisikan secara dinamis dan berkelanjutan, bukan sesuatu yang kaku dan tertutup. Agama secara dinamis diperuntukkan sebagai sarana memperbaiki diri, untuk menengok diri sendiri bukan untuk orang lain, sehingga kehidupan beragama lebih pada kepentingan mengkoreksi diri sendiri bukan mengoreksi- apalagi menyerang- orang lain, sebagaimana yang sudah ditegaskan sebelumnya.

 

Simpulan Bahwa ketakwaan yang dimaksud dalam Q.S al-Hujurat 49:13 adalah orang yang berhasil melakukan "Lita'a>rafu>" yaitu Litafahamu, Litafaqahu"; mereka yang paling bisa memahami orang lain, yang paling toleransi dan paling dapat                                                          

memahami orang lain dan dialah orang paling dinamis. Sehingga seorang yang beragama akan menjadi orang yang disanjung di bumi serta dimuliakan di langit.  Demikianlah khutbah ini disampaikan semoga bermanfaat, amin ya Rabbal’alamin. wallahul muwaffiq ila aqwamittariq Wassalamu’alaikum wr, wb.