logo yayasan mujahidin

Sedang memuat ...

Berita

Foto Radio Mujahidin Persembahkan “Jage Budaye..Jage Bangse” Untuk Hari jadi Kota Pontianak ke-248

Radio Mujahidin Persembahkan “Jage Budaye..Jage Bangse” Untuk Hari jadi Kota Pontianak ke-248

Portal Yayasan Mujahidin Kalbar, Rabu, 23 Oktober 1771 (14 Rajab 1185 H) Kota Pontianak resmi didirikan oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie. Hingga hari ini, usianya sudah menginjak 248 Tahun pada hari Rabu tanggal 23 bulan oktober tahun 2019. Banyak sejarah dan budaya yang telah berkembang dan melekat dikehidupan sehari-hari masyarakat Kota Pontianak yang identik dengan etnis Melayu, meskipun begitu ada banyak etnis yang mendiami Kota Pontianak seperti China, Jawa, Madura dan Dayak.

            Keberagaman etnis tentu juga merupakan ciri khas Negara Republik Indonesia, namun di era globalisasi dimana perkembangan jaman semakin maju yang ditandai dengan mulai pudarnya batas-batas Negara baik dalam artian politik, ekonomi, kawasan yang semakin mudah diakses, hingga budaya yang masuk. Beragamnya etnis di Kota Pontianak ialah contoh kecil dari seluruh etnis yang ada di Indonesia, yang mana budaya-budaya ini adalah kebudayaan lokal dan tidak dimiliki Negara lain. Jika deminikan, bagaimana budaya-budaya lokal tersebut bertahan ditengah arus globalisasi ?

            Menjawab tantangan perkembangan jaman tersebut, Radio Mujahidin mempersembahkan sebuah konsep kecil yang nantinya diharapkan melalui ini akan lahir kekuatan budaya lokal yang tidak kalah saing dengan budaya luar. Memperingati hari jadi Kota Pontianak ke-248, Radio Mujahidin gelar makan kue tradisional Pontianak bersama Kru dan tamu serta menghadirkan program bincang istimewa bertajuk “Jage Budaye…Jage Bangse” yang dilaksanakan bertepatan hari jadi Kota Pontianak Pukul 09.00-10.00 WIB. Melalui program siar, pesan yang ingin disampaikan ke masyarakat Kota Pontianak khususnya ialah sejarah-sejarah Kota Pontianak dan Budaya khas Pontianak itu sendiri. Budayawan sekaligus sejarahwan Kota Pontianak turut dihadirkan sebagai narasumber, yakni Bpk.Syafaruddin Usman yang juga merupakan Dosen aktif. Beliau turut mengampu mata kuliah Sejarah di FKIP UNTAN dan Dosen Jurnalistik di FISIPOL UNTAN.

Jage Budaye, Jage Bangse. Dipersembahkan untuk Hari jadi Kota Pontianak karena menimbang budaya ialah identitas bangsa yang menampakkan wajah atau karakter bangsa dihadapan dunia, itulah alasan mengapa budaya menjadi instrumen penting yang diangkat dalam program ini. Mengingat perkembangan jaman pada era ini semakin maju, maka perlu adanya penguatan-penguatan pada unsur budaya yang melekat ditengah-tengah masyarakat khususnya Kota Pontianak. Dengan terjaganya kebudyaaan yang ada, Kota Pontianak tetap kental dengan kebudayaan dan melalui program ini pula diharapkan dapat memberikan wawasan kepada masyarakat mengenai arti penting melestarikan maupun menjaga budaya lokal. Menjaga dalam artian tetap menghargai, memiliki pengetahuan, dan memahami budaya-budaya yang ada sehingga dapat menjadi self bargaining dalam promosi kebudayaan yang ada. Dengan begitu, sebuah bangsa tentu akan tetap terjaga karakter dan wibawanya sebab tidak kehilangan jati diri di tengah-tengah arus globalisasi.

            Dalam program yang dipandu Ukhti Yesi dan Ukhti Nur tersebut, ada 3 sesi penting yang dibahas; pertama, sejarah Kota Pontianak mulai dari asal muasal nama Pontianak sampai pembagian wilayah-wilayah dan beberapa area lain. Masyarakat Kota Pontianak tentu tidak asing lagi dengan stigma yang mengaitkan nama “Pontianak” dengan hantu “Kuntilanak” yang ternyata hanya sebuah mitos, ,menurut Sejarahwan Pontianak yang juga belajar dari sebuah buku berjudul “Borneos Wester Afdeling”, tulisan salah satu tokoh sejarahwan Belanda yakni V.J Verth  ini menemukan bahwa nama Pontianak itu erat kaitannya dengan kisah perjalanan Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie saat meninggalkan Kerajaan Mempawah. Perjalananpun dimulai, Sultanpun mulai melebarkan perahu lancangnya dan melakukan perlawanan pada penjajah Belanda serta menemukan pemukiman baru.

Ketika inilah Sultan menemukan 2 jalur sungai yang bermuara pada 1 sungai, saat ini sungai tersebut masih tercatat sebagai sungai terpanjang di Indonesia yakni Sungai Kapuas. Ditariklah kesimpulan bahwa kedua pintu sungai itu merupakan anak pintu daripada Sungai Kapuas, yang artinya penggabungan dari 2 kata; pintu – anak dan pada akhirnya menjadilah puntianak atau diresmikan menjadi Pontianak. Itulah cikal bakal nama Pontianak yang kita kenal saat ini, ada banyak versi cerita rakyat yang mengisahkan penamaan Kota Pontianak ini mulai dari Kuntilanak hingga kata pohon-punti karena pada masa itu area Kota Pontianak ditumbuhi pohon-pohon tinggi dan besar.

Tidak berhenti disitu, sejarah Kota Pontianak masih belum terputus. Setelah adanya nama Pontianak, mulai dipertanyakan tentang “Kapan Meriam yang katanya milik Sultan ditembakkan ?” atau “Kapan Masjid Jami’ dibangun sebagai bangunan pertama ?”. Dalam Bincang istimewa yang berdurasi 60 menit itu juga Bpk.Syafaruddin Usman mengulas sedikit mengenai cikal bakal pemukiman Kota Pontianak. Diceritakan, dahulu ada banyak penyamun/lanun/perombak/bajak laut di kawasan Sungai Kapuas yang berhadapan dengan Sultan hingga pada akhirnya beberapa dari mereka berhasil ditaklukkan yang kemudian dialokasikan ke sebuah daerah antara 2 anak pintu sungai Kapuas tersebut, yakni Beting. Jadi, image kampong Beting yang dulunya buruk bukan tanpa alas an krena masih ada kaitannya dengan sejarah wilayah itu sendiri. Namun, di era modern skearang ini melalui tangan-tangan dan pemikiran kreatif masyarakat wilayah ini mulai disulap menjadi lebih baik. Beting saat itupun menjadi wilayah pemukiman bagi para perompak yang telah berhenti dari profesinya sebagai perompak, mendukung hal itu Sultanpun mendirikan sebuah Masjid untuk beribadah dengan nama Masjid Jami’ dan menjadi bangunan pertama yang menandai dimulainya peradaban di Kota Pontianak kala itu. Dan disekitar itu menyusullah bangunan-bangunan lain seperti kerajaan dan pemukiman masyarakat yang terus berkembang hingga sekarang.

Kedua, penyiar dan Bapak Syafaruddin Usman mulai berdialog mengenai kebudayaan Kota Pontianak. Berkaitan dengan hari jadi Kota Pontianak ke-248, dimana baik pemerintah maupun masyarakat mengenakan pakaian adat Melayu bermotif Corak Insang ini ternyata mengandung nilai kebudayaan bagi masyarakat Kota Pontianak. Sejarahnya, masyarakat Kota Pontianak dahulu sangat bergantung dari Sungai Kapuas sebagai sumber mata pencaharian atau penghidupan yang mana didominasi oleh para Nelayan. Nelayan-nelayan ini bergantung pada hasil tangkapan ikan, ada satu bagian pada ikan yang menginspirasi pada masa itu; ialah insang ikan. Insang ikan merupakan alat pernapasan ikan, artinya menyamakan hal tersebut masyarakat Kota Pontianak bergantung kehidupannya (pernafasan) pada Sungai Kapuas dan akhirnya diambillah bentuk insang ikan sebagai sebuah motif yang sangat khas dengan Kota Pontianak degan nama Corak Insang.

Berdialog soal motif kain khas Kota Pontianak, tentu tidak luput daripada pakaian adatnya sendiri yang mana untuk kaum Pria ada pakaian Telok Belanga’ dan Perempuan pakaiannya disebut Baju Kurung. Kedua pakaian tersebut memiliki motif Corak Insang dan beberapa instrument yang kembali memiliki makna khusus. Bagi kaum pria, pemakaian baju telok belanga terdiri dari Kopiah, Baju atasan, Songket corak insang, dan celana kain, dalam pemakaiannya ada makna yang harus diperhatikan. Beberapa diantaranya, penggunaan Kopiah yang menggambarkan keidentikkan Islam dengan Melayu yang meskipun penggunaan Kopiah ini banyak digantikan dengan Tanjak (Lilitan kain bermotif yang dipakai dikepala) karena dianggap lebih modis dan bernilai ekonomis. Kemudian, yang harus diperhatikan lagi dari pemakaian baju Telok Belanga ini yaitu pada pemakaian baju atasannya yang harus dimasukkan kedalam dan pemakaian kain songket, bagi kaum pria yang telah menikah pemakaian kain songket haruslah dibawah lutut, sementara bagi kaum pria yang masih lajang haruslah menggulung kain hingga diatas lutut.

Apapun itu, meskipun dilihat lebih modis dan ekonomis, hendaklah tetap mengacu pada nilai-nilai budaya yang dibawakan dan adab, sehingga antara nilai estetika dan budaya bisa berjalan berbarengan…”, ungkap Bpk Syafaruddin Usman disela-sela dialog (23/10/19).

Kain songket tersebut ketika dililit ke pinggang haruslah bertemu/berakhir didepan, hal ini memungkinkan ketika si pria hendak duduk bersila maka akan lebih muda dan lebih gagah. Adapun ornament-ornamen atau aksesoris yang ditambahkan hendaklah disimpan dibagian belakang, artinya keindahan-keindahan menutupi sesuatu yang buruk sebab bagian belakang dianggap tubuh melambangkan sesuatu yang buruk. Jika menggunakan kris, posisinya harus didepan agar menunjukkan kesiap-siagaan, dan posisi tangan baiknya bertumpu pada pinggang sebelah kiri untuk memperlihatkan kewibawaan.

Sementara itu, baju kurung untuk kaum perempuan juga memiliki makna tersendiri dalam pemakaiannya. Umumnya terdiri dari, tudung kepala/selendang, pakaian atasan tangan panjang, kemudian rok bermotif corak insang. Kembali identik dengan Islam, baju kurung merupakan baju yang tidak terlalu ketat jika dipakai dan dalam pemakaiannya, dititik beratkan pada penggunaan selendang yang ditudung di kepala atau diletakkan dibagian pundak dan disimpul. Sama seperti perbedaan makna pemakaian pada kaum pria, begitupula pada baju kurung yakni bagi kaum perempuan yang sudah menikah maka penggunaan selendang cukup diletakkan membungkus kedua bahu dan di simpulkan ke salah satu sisi, sementara bagi kaum hawa yang masih gadis/dare maka menutupkan selendang kebagian kepala dan menutupi bagian dada, kemudian memegang kedua sisi ujung selendang tersebut.

pemakaian baju adat ini bukan sembarang pakai, semua ada filosofinya, jadi malu kalau memakai tapi tidak tahu maknanya, tidak mengerti apa yang ada pada pakaian tersebut” lanjut Bpk Syafaruddin Usman (23/10/19).

Khasnya, pakaian adat melayu menggunakan warna kuning sebagai warna utama. Warna kuning selain ceria, identik dengan kemegahan dan kerajaan Kota Pontianak. Namun, sekarang ini sudah banyak inovasi-inovasi kreatif dengan menghadirkan gaya yang lebih mengikuti perkembangan jaman. Namun diharapkan, apapun inovasi dan kreatifitas yang dilakukan hendaklah tidak menanggalkan identitas asli maupun unsur kebudayaan yang terkandung dalam pakaian adat itu sendiri.

            Selain itu, pada program bincang istimewa dengan  “Jage Budaye…Jage Bangse…” yang dsiarkan secara langsung melalui frekuensi 105,8 fm serta melalui streaming internet tersebut juga dibahas tentang kuliner. Pemerintah Kota Pontianak yang mengadakan berbagai kegiatan dalam rangka hari jadi Kota Pontianak Ke-248 tahun 2019 ini menggelar festival arakan pengantin melayu, saprahan, drum band, japing, festival kuliner dan banyak lagi, juga menghadirkan Bpk.Syafaruddin Usma sebagai juri dalam beberapa ajang kegiatan yang diperlombakan yang salah satunya dalam perlombaan saprahan pada hari Kamis (17/10/19) di Pontianak Convention Center lalu.

Dalam hal kuliner, setiap sajian dan makanan juga memiliki makna filosofis masing-masing harus kita ketahui, khususnya dalam lomba saprahan kemarin, kita harus melihat bagaimana estetika bisa berpadu padan dengan rasa dan ketepatan budaya”, ungkap Bpk.Syafaruddin Usman (23/10/19).

Ada beberapa kue tradisional khas Pontianak yang biasa kita ketahui seperti Pisang Goreng Srikaya, kue Batang Burok/Dadar Gulong, hingga kue Bingke Berendam. Untuk kuliner berat, khususnya dalam pertandingan saprahan lalu, disebutkan bahwa ada unsur-unsur utama yang harus disajikan yakni nasi putih, nasi kebuli, rending daging, sambal, sayur dalca, dan minuman mineral serta air serbat. Setiap makanan yang disajikan memiliki makna yang melekat pada kehidupan, keseimbangan rasa yang melambangkan bahwa hidup itu tidak selalu manis,asin, pahit, atau hambar tetapi ada hal-hal lain yang dapat membuat hidup menjadi lebih berwarna.

Disamping itu, Pontianak juga patut berbangga dengan salah satu masakan khasnya yaitu  Ikan Asam Pedas. Sekilas mungkin orang mengira masakan ini dapat ditemukan di daerah manapun seperti Padang, Riau maupun Ketapang. Tetapi, khasnya Kota Pontianak selalu menggunakan bagian kepala Ikan untuk menjadi bagan utama dalam masakan tersebut jika idbandingkan dnegan daerah lain yang mengutamakan sajian isi/badan dari  ikan yang digunakan. Maknanya, kepala ikan itu dilambangkan sebagai pemikiran dan dibagian kepala ikan juga melekat dengan bagian insang ikan yang merupakan sumber pernapasan ikan tersebut, inilah yang menjadi filosofi masakan ini. Masakan ini melambangkan pemikir dan menghargai sumber mata pencaharian yang selama menjadi melekat di tengah-tengah masyarakat Kota Pontianak.

Mengakhiri diskusi pada program itu, terucap beberapa harapan untuk Kota Pontianak di hari jadi yang ke-248 ini agar baik Pemerintahnya maupun masyarakatnya tetap hidup damai berdampingan, kebudayaan yanga da tetap dilestarikan, jangan meninggalkan adat-adat yang ada, dan selalu menjadi Kota yang semakin hari semakin maju kedepannya. Intinya adalah melalui kebudayaan yang ada, kita sebagai masyarakat dapat turut menjaga kekohonan karakter bangsa Indonesia. Hanya dengan mempelajari dan memahami budaya sendiri, sebelum budaya ini habis dilindas peradaban yang semakin maju karena kalah saing dengan budaya yang masuk dari Negara lain. Jika bukan dimulai dari kita sendiri, maka siapa lagi harus melestarikan dan menjaga kebudayaan ini, tidak hanya budaya melayu saja namun untuk semua kebudayaan yang ada. Semoga Indonesia selalu menjadi Negara yang makmur, aman, dan damai dengan persatuan seluruh kebudayaan dan rakyatnya senidri.Aamiin. 

Oleh : Nurhayati,S.Hub.Int