logo yayasan mujahidin

Sedang memuat ...

Berita

Foto MAULUD ATAU MAULID

MAULUD ATAU MAULID

Khutbah Jum’at

15 November 2019 M | 18 Rabi’ul Awaal 1441 H

Disampaikan Khatib :

Dr. Firdaus Mi’an, M.Pd

Link Video Khutbah :  http://bit.ly/KhutbahJumatMasjidRayaMujahidin_ke2116_15Nov2019

 

Jamaah Jum’at Rahimakumullah

Saudara-saudara, kaum Muslimin jama’ah sholat Jum’at yang dimuliakan Allah SWT

Kita patut bersyukur dan bertakwa kepada Allah Rabbul Alamiin, yang dengan kasih sayang-Nya kita masih tetap istiqamah menjaga keimanan dan ke-Islaman kita, sekaligus dapat menjalankan ibadah kepada-Nya termasuk dapat menunaikan shalat Jum’at pada hari ini di tahun 1441 H secara bersama di Masjid Raya Mujahidin ini.

Sholawat dan salam kita sampaikan kepada nabi junjungan seluruh alam Rasulullah Muhammad SAW.

Perkenankan kami dalam kesempatan yang mulia ini, menyampaikan suatu uraian Khutbah yang berjudul “Maulud atau Maulid”.

Dimana-mana tempat hampir disemua belahan dunia saat ini, sedang ramai-ramainya memperingati maulid Nabi saw. Tak terkecuali di sekitar kita. Tapi itulah, disetiap tempat  yang melaksanakan, disitu pula ada protes, ada yang menanyakan apa dasar hukumnya, ada pula yang menyebutnya dengan istilah maulud, ada yang menyebutnya dengan istilah maulid. Mana sebenarnya yang tepat. Kalau mau yang tepat lihat ta’rif (definisi) nya. “Maulid” itu artinya waktu nabi dilahirkan, 12 Rabi’ul Awal. Sedangkan “maulud” artinya bayi nabinya yang dilahirkan, yakni Muhammad saw. Demikian itu sudah jelas, tidak usah banyak berdalil-dalil, menganalogikan maupun berspekulasi, dan itu sebenarnya tidak baik dalam meletakkan suatu perkara. Menurut para ulama kita harus paham dulu dengan akar persoalannya baru kita bisa menyimpulkan hukumnya. Hati-hati kelemahan kita sekarang, ketika berbicara hukum selalu tidak fokus dengan apa yang dibincangkan. Misalnya kita bertanya tentang maulid, apa hukumnya ? Bukan jawabnya wallahi a’lam. Jawabannya, ndak ada hukumnya. Bagaimana kita bisa melekatkan hukum pada saat lahirnya nabi. Lahir ya lahir. Hanya qadar Allah yang menjadikan ia terlahir, dan dengan kelahiran itu dia punya misi dalam kehidupan, yakni mencari bekal untuk dia menghadap Allah SWT. Hukum itu terletak pada perbuatan, bukan pada waktu atau pada benda. Ketika dia berbuat dengan aspek kesadarannya, maka muncul hukum disitu. Benda itu mengandung unsur hukum apabila sudah digunakan untuk melakukan perbuatan. Benda mengandung unsur hukum tergantung pada perbuatan yang melekat kepadanya. Gelas, misalnya jika digunakan untuk minum, sunah hukumnya, tapi jika digunakan untuk menyimpan arak, haram hukumnya. Golok, jika digunakan untuk memotong hewan qurban, sunah hukumnya, tapi jika digunakan untuk mengancam, haram hukumnya. Oleh karenanya menyangkut persoalan memperingati maulid tergantung bagaimana cara menyikapi hari kelahiran itu. Kita tidak bisa menentang dan tidak bisa juga menolak. Kalau menolak,  memangnya kita ini ingin menjadi musuh nabi. Atau kita ingin ingkar pada  nabi Muhammad saw.

Saudara-saudara sekalian yang dirahmati Allah

Mustahillah kita tidak mau menerima peringatan kelahiran Muhammad saw, Nabi Isa as saja yang hidup 600 tahun sebelum Muhammad dilahirkan, merasa sangat bahagia ketika mendapat khabar dari Allah bahwa akan lahir nabi Muhammad saw. Biasanya sifat bahagia itukan pada saat bayinya sudah lahir, bukan sebelum lahir. Tapi itulah kemuliaan Nur nya nabi saw, beliau bisa menjadikan seorang nabi Isa yakin bahwa walau belum lahir nabinya, tetapi nabi Isa sudah gembira dan memberikan kebahagiaan kepada kaumnya. Sampai-sampai kebahagiaannya diungkapkan kepada kaumnya dalam setiap khutbahnya. Kegembiraan dan kebahagiaan seperti ini, ternyata bukan hanya dilakukan oleh nab Isa as, bahkan Allah pun jika memanggil nabi-nabi yang lain langsung dengan sebutan “nama”seperti: Adam   يَااَدَم اُسْكُنْ اَنْتَ وَجَوْزُك الْجَنَّةِwaktu memanggil Yahya,يَا يَحْي هُذِ الْكِتَابَ بِقُوَّتِهِwaktu memanggil Isa,سِ   يَاعِيْسَ ـ اِنِّسْ تَفَيْتُك عَلَنَّا,tapi ketika Allah memanggil Muhammad, dipanggilnya dengan panggilan kelembutan, kemuliaan dan kehormatan يَايُّهانَّبِيُّ ذَاحِدُالْكُفَّرْ

 يَاَيُّهارَّسُوْل ـ بَلِّغْمَ اُنْزِلَ اِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ ـ dan begitulah Allah mengajarkan untuk berakhlakul karimah kepada Muhammad saw.

QS. As-Shaf (61) : 6,

وَاِذْ قَألَ عِيْسَى ابْنُ مَريْمَ يَابَنَي أِسْرَاءِيْلَ اِنِّي رَسُولُ الَّلَهِ اِلَيْكُمْ مُّصَدِّ قًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ الّتَوْرَاةِ وَمُبَشِّرًابِرَسُولٍ يَأتِي مِنْ بَعْد اسْمُهُ اَحْمَدُ . فَلَمَّاجَاءَ هُم بِالْبَيِّنَاتِ قالُوْا هَذَا سِحْرٌمُّبِين

Artinya “ dan ingatlah ketika Isa putra Maryam berkata, “wahai bani Israil! sesungguhnya aku utusan Allah kepadamu, yang membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan seorang rasul yang akan datang setelahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)” namun ketika rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata, “ ini adalah sihir yang nyata”

Saudara-saudara kaum Muslimin yang dirahmati Allah

Dalam sebuah risalah dikisahkan, suatu waktu saat nabi saw berada di mimbar seketika ia berkata,  “nanti kalian akan minum dari telaga ini,  aku melihat ada telaga haud tempat kalian akan minum disini. Sahabat bertanya, “Siapa yang akan minum disitu ya Rasulullah”? “kamikah atau saudara-saudaramu, ya Rasul”. Sahabat bertanya untuk rasa ingin tahu. Beliau menjawab,  “Bukan, bukan, kalian itu bukan saudaraku”.

Saudara-saudaraku itu adalah, حُمُ الَّذِ يْنَ لَمْ يَرَونِي وَلَكِنَّهُمْ يُؤمِنُونَ بِهِyakni orang-orang yang tak pernah melihatku tapi mereka beriman kepadaku. Selain jaminan syafa’atnya yang kelak akan diberikan pada umatnya, berderet penderitaan pun datang silih berganti yang dialaminya, pernah sampai patah giginya, berdarah  “pelipisnya, dan bersimbah darah kakinya. Dengan rasa geram sahabat berkata, Engkaukan punya do’a mustajab ya Rasul, do’a Mu maqbul, kau do’a sekali saja, maka mereka akan mati dan rata dengan tanah ya Rasul. Kata Rasul, tidak! Do’a itu aku simpan untuk kalian nanti di Padang Mahsyar.

QS. At-Taubah (9): 128-129

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُوْلٌ مِنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌعَلَيْهِ مَاعَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُم بِلْمُؤمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمِ ـ فَاِنْتَولَّوا فَقُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ لَااِلَهَ اِلاَّ هُوَعَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَرَبُّ الْعَرْشِ اْلعَظِيْمِ

Artinya “Sungguh, telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat rasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (Dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman. Maka jika mereka berpaling, (dari keimanan), maka katakanlah (Muhammad), “cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepadaNya aku bertawakkal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘arsyi (singgasana) yang agung”

Bahkan dalam riwayat lain dikisahkan betapa dia sangat memikirkan ummatnya sampai-sampai beliau pernah jatuh sakit dan kurus tubuhnya, beliau tidak mengangkat kepalanya hingga beberapa hari lamanya kecuali waktu mendengar adzan dan mendirikan sholat, tatkala Malaikat Jibril bertabaruk (mengambil berkah) mendatanginya seraya menyampaikan khabar, bahwa sesungguhnya hari ini Allah SWT sedang mengobarkan nyala api Neraka dan seluruh Malaikat amat ketakutan, mereka tidak tahu harus berbuat bagaimana. Rasulullah terdiam beberapa saat. Lalu Jibril melanjutkan pembicaraannya “bahwa kelak ada diantara ummatmu yang harus dimasukkan dalam Neraka ke 7, disebabkan mereka itu para pelaku dosa-dosa sangat besar dan sampai mereka meninggal belum sempat bertaubat”. Riwayat ini dikisahkan oleh Abu Bakar r.a, Umar r.a. dan anak kesayangannya Fatimah r.a.

 

 

Saudara-saudara, kaum Muslimin rahimakumullah

Jadi kalau beliau memikirkan, menyayangi, merindukan kita, mengapa kita tidak merindukannya. Kalau beliau menantikan kita di Surga, mengapa kita tidak menjemput penantian itu. Beliau akan membawa umatnya ke Surga dan tidak melangkahkan kakinya ke Surga, sebelum semua umatnya berkumpul bersama-sama masuk ke Surga. Lalu,  masih ragukah kita untuk mengenangnya, mencintainya, merindukannya, memperingati hari kelahirannya? Mengapa selalu kita mempersoalkan tentang mauludnya, tentang maulidnya. Mengapa? Ada yang mengatakan bid’ah lah, yang dolalahlah, yang masuk Neraka lah. Nabi saw sendiri tidak pernah mewasiatkan supaya hari kelahirannya dijadikan sebagai suatu peringatan keagamaan yang disakralkan, justru setiap kali sampai hari kehirannya beliau berpuasa, itu yang beliau contohkan. Mengapa beliau harus memilih berpuasa? Karena orang puasa itu paling dekat peningkatan taqwa pada Allah dalam kontek ibadah. Silakan rasakan, kalau kita tidak puasa, jangankan sholat sunnah, ada sholat fardhu tertinggal saja, kita rasakan biasa. Tapi jika puasa, jangankan sholat fardhu, yang sunnah saja tertinggal kita bisa gelisah. Jadi kalau masuk pada hari kelahiran kita, lalu kita berpuasa, refleksi yang pertama adalah untuk mengevaluasi sampai usia kita disitu, berapa peningkatan nilai taqwa kita di hadapan Allah SWT. Jangan-jangan dihari kelahiran kita itu, investasi akhirat kita belum cukup untuk dibawa pulang menghadap Allah SWT. Kedua, fungsi puasa itu adalah mencegah maksiat. Karena hampir mustahil dan tidak mungkin orang berpuasa mau berdusta, mau berselisih, dan mau mencela. Jadi merayakan peringatan maulid nabi saw itu, bukan kita harus menyengaja melakukan pemborosan yang sia-sia. Yang paling penting itu ta’limnya dan memperbanyak bershalawat untuknya. Jangan lagi kita banyak memperdebatkan ikhtilaf daripada suatu perkara yang sudah jelas letaknya melanggar larangan Allah. Sekarang mari kita cari langkah yang tepat untuk meminimalisir kemungkaran dan kemaksiatan di sekeliling kita, mengantisipasi secara masif peredaran segala macam makanan dan minuman maupun obat-obatan yang meracuni dan membawa mudharat, menekan secara persuasif maraknya hidup bersama dalam serumah tangga dengan berbeda agama, glamournya penampilan hiburan di tempat umum atau di atas pentas dengan pakaian yang mempertontonkan aurat dengan begitu terbuka, murtad dan masih banyak yang lebih parah dan sangat penting lainnya untuk dibahas.

بَرَ كَ الَلهُ لِي وَلَكُمْ فِى الْقُراَ نِ العَظِيْم ـ وَنَفَعَنِى وايَاكُمْ بِمَافِيهِ مِنَ الاَيَاتِ وَالذِّكْرِالْحَكيِمْ ـ  وَتَقَبَلَ مِنِي وَمِنْكُمْ تِلَاَوَتَهُانَهُ هُوَالسَّمِيْعُ الْعَلِيْم ـ اَسْتَغْفِرُاللَّهَ اْلعَظِيْمِ لِي وَلَكُمْ وَلِسَاءِرِالْمُسْلِميْنَ والْمُسْلِمَةِوالْمُؤمِنِيْنَ والْمُؤمِنَةِ ـ فَاسْتَغْفِرُوْهُ اِنَّهُ هُوَالْغَفُوُرُالَّرحِيْمِ ـ