logo yayasan mujahidin

Sedang memuat ...

Berita

Foto Khutbah Jum’at ke 2128  “Sikap Wasathiyah dan Wara’ Merupakan Karakteristik Islam”

Khutbah Jum’at ke 2128 “Sikap Wasathiyah dan Wara’ Merupakan Karakteristik Islam”

Intisari Khutbah Jum’at ke 2128

07 Februari 2020 / 13 Jumadil Akhir 1441 H

Oleh: Dr. H. Wajidi Sayadi, M.Ag

Link Berkas  http://bit.ly/KhutbahJumat_07Februari2020

Link Video  https://youtu.be/Z78wr4TtAnQ

 

Alhamdulillah, kita bersyukur berterima kasih ke Hadirat Allah segala nikmatnya, dalam keadaan sehat wal afiyat bisa melaksanakan aktivitas dan berbagai tugas, khususnya bisa melaksanakan ibadah kepada Allah SWT.

Saat ini kita dihebohkan dengan kasus wabah Virus Corona yang dianggap berbahaya dan mematikan. Semoga Allah melindungi kita semua dari segala hal yang membahayakan. Sesungguhnya banyak virus yang setiap saat bisa menggerogoti kesehatan diri setiap manusia. Bagi kita umat Islam, menyikapinya tidak perlu panic, apalagi sampai berlebih-lebihan tapi juga tidak menganggap remeh. Al-Qur’an sejak awal memerintahkan agar selalu menjaga pola hidup yang bersih dan teratur. Dalam al-Qur’an, setelah ayat IQRA’, perintah membaca, Allah memerintahkan:

وَثِيابَكَ فَطَهِّر

Pakaianmu hendaklah engkau bersihkan. (QS. al-Mudatstsir: 4).

Ulama tafsir menjelaskan bahwa “pakaian” yang disebutkan dalam ayat ini, tapi yang dimaksud adalah badan. Perintah agar selalu bersih badan baik secara fisik maupun secara rohani.

Perintah membersihkan diri antara lain dengan berwudhu. Rasulullah SAW. bersabda:

 لَا يَقْبَلُ اللهُ صَلَاةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ

Allah tidak akan menerima ibadah shalat tanpa wudhu. (HR. Bukhari dari Abu Hurairah).

Atas dasar hadis inilah, para ulama Fiqh, sepakat bahwa syarat sahnya ibadah shalat adalah wudhu. Oleh karena itu, bagi umat Islam setiap saat hendaklah berwudhu.

Berwudhu ini adalah bagian dari pola hidup bersih yang bisa mencegah dan menangkal berbagai virus penyakit, termasuk virus corona, yang penting wudhunya dilaksanakan dengan baik dan benar disertai keyakinan yang kuat. 

Seorang Prof. Leopold Werner dari Austria dalam riset penelitiannya berkesimpulan bahwa pusat-pusat saraf yang paling sensitif dari tubuh manusia berada pada dahi, tangan, dan kaki. Pusat saraf inilah yang sangat sensitif terhadap air segar, ketika pusat saraf ini selalu dibasuh dengan air wudhu, maka itu berarti kita menjaga pola hidup memelihara kesehatan dan keselarasan pusat saraf manusia.

Para ahli medis menyebutkan, ketika berwudhu ada 493 titik akupuntur yang dibasuh oleh air wudhu. 84 titik di bagian wajah, 95 titik di bagian tangan, 64 titik di bagian kepala, 125 titik di bagian telinga, dan 125 titik di bagian kaki. Berdasarkan riset para ahli akupuntur, titik-titik ini setelah dirangsang dengan air wudhu, akan menstimulir bioenergi yang membangun keseimbangan dalam tubuh sehingga menghasilkan efek terapi yang multiindikasi. Oleh karena itulah, istiqamah dalam wudhu, akan menjadi pencegah dan penangkal dari berbagai macam virus penyakit.   

Rasulullah SAW. bersabda:

احْفَظْ اللهَ يَحْفَظْكَ

Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. (HR. Tirmidzi dari Ibnu Abbas).

Maksudnya, kerjakanlah aturan yang telah Allah tetapkan dan diridhai-Nya, niscaya Allah akan melindungi kamu dari bahaya dan kerusakan dunia dan akhirat. 

Termasuk aturan dan perintah Allah yang mesti dijaga adalah bersikap wasathiyah dan wara’ dalam kehidupan beragama. Wasathiyah artinya tengah-tengah, sedang-sedang, tidak berlebih-lebihan dan tidak melampaui batas, dan juga tidak mengabaikan dan tidak lalai. Dan Wara’ artinya bersikap hati-hati, Ada perbuatan secara hukum boleh, tetapi tidak pantas dilakukan karena tidak ada manfaatnya, bahkan cenderung mendatangkan masalah, maka itu dihindari. Inilah namanya wara’. Sikap wasathiyah dan wara’ adalah sangat penting dikedepankan di tengah-tengah masyarakat majemuk. Dalam tutur kata, perbuatan, dan sikap, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari komunitas dan organisasi.   

Dalam Tafsir Al-Maragi, disebutkan bahwa sebelum Nabi Muhammad SAW. terdapat dua kelompok umat manusia dengan karakteristik sikap dan pandanganya yang berlawanan; yaitu 1) Kelompok  المادية الجثمانيةmaterialisme, segala sesuatu  dan kebenaran diukur berdasarkan materi semata,

dan 2) kelompok الروحانية الخالصة batiniyah, spritualitas semata, menjauhi kehidupan dunia dan materi. Dua kelompok ini, semuanya berlebih-lebihan dan menjadi virus sumber bencana kemanusiaan dan agama, maka dalam kondisi inilah, Allah menurunkan ayat al-Qur’an:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

Dan demikian Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) “Umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad SAW.) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS. al-Baqarah: 143).

Dalam ayat ini, Allah SWT menegaskan bahwa Umat Islam adalah umat Wasathan. Para ahli Tafsir, menjelaskan bahwa Ummatan Wasathan maksudnya umat خيارا وعدولا artinya umat yang adil, umat pilihan, dan terbaik, sebab umat Islam bersikap tengah-tengah, moderat, adil dan berimbang. Umat Islam perlu materi sekaligus perlu juga kekuatan spiritual. Tidak boleh mengabaikan salah satunya apalgi sampai berlebih-lebihan. Inilah namanya ummatan wasathan.

Nabi SAW. pernah menegur sahabat yang shalat sepanjang malam tidak mau tidur dan puasa sepanjang waktu tidak mau berbuka, dengan sabdanya:

نَمْ وَقُمْ وَصُمْ وَأَفْطِرْ فَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِزَوْجَتِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِضَيْفِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِصَدِيقِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّهُ عَسَى أَنْ يَطُولَ بِكَ عُمُرٌ

 Anda shalat dan tidurlah, puasa dan berbukalah. Sesungguhnya matamu punya hak yang menjadi kewajiban bagimu, tubuhmu punya hak yang menjadi kewajiban bagimu, isterimu punya hak yang menjadi kewajiban bagimu, tamumu juga punya hak yang menjadi kewajiban bagimu, dan temanmu  punya hak yang menjadi kewajiban bagimu. Mudah-mudahan memperhatikan hak dan kewajiban secara adil dan imbang membuat kamu berumur panjang.  (HR. Nasai dari Abdullah ibn Amr).

Ummatan wasathan tidak berlebih-lebihan, tidak materialism, tidak sekularisme, tidak liberalisme, dan juga tidak radikalisme, tidak ekstrim kanan dan tidak ekstrim kiri, sedang-sedang saja.

Sikap Wasathiyah, sikap moderasi inilah yang dipraktekkan Rasulullah SAW. dan umat Islam di tengah masyarakat majemuk di Madinah. Penduduk Madinah terdiri dari umat Islam, Yahudi, Nasrani, Majusi, dan penganut tradisi nenek moyang para penyembah berhala. 

Keragaman dan pluralitas seperti ini pada zaman Nabi SAW. bukan ancaman dan gangguan, bahkan justru menjadi kekuatan sosial politik bagi Negara Madinah, karena mereka hidup rukun dan damai di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW. Beliau mengedepankan sikap moderat, adil, inklusif dan toleran, yakni saling menghargai antara satu dengan lainnya, walau berbeda agama dan keyakinan.

Dalam Piagam Madinah yang dibuat Rasulullah SAW. terdiri atas 47 Pasal yang mengatur tatanan kehidupan social bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Diantara pasalnya menyebutkan bahwa Semua penduduk Madinah adalah satu umat, satu kesatuan. Saling menolong antara satu dengan lainnya terutama bagi mereka yang teraniaya. Apabila Negara Madinah diserang oleh musuh, maka semua penduduknya wajib mempertahankan Madinah secara bersama-sama, apapun akidah dan kepercayaannya. Bagi kaum Yahudi bebas menganut agama mereka sebagaimana umat Islam bebas menganut agamanya. Inilah ajaran tentang kebebasan dan toleransi antar umat beragama dijamin oleh Rasulullah SAW. Pernah ada sekelompok umat Islam mencaci maki sesembahan orang-orang kafir, maka mereka juga membalas dengan mencaci maki Allah sebagai Tuhan umat Islam, atas kejadian inilah, maka Allah menurunkan ayat:

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ  

Dan janganlah kamu mencaci maki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mreka nanti akan mencaci maki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. (QS. al-An’am: 108).

Kita umat Islam tidak boleh meyakini sebagaimana apa yang mereka yakini dalam ibadah mereka, akan tetapi sebagai sesama anak bangsa dan warga Negara kita harus menghargai perbedaan dan keragaman budaya, agama dan simbol-simbol keyakinan masing-masing. Semoga kebersamaan dan persaudaraan tetap dipelihara dengan sebaik-baiknya.